Bencana
banjir kembali melanda Jakarta, pada hari ini.
Seperti biasa
beberapa daerah mulai terendam air. Sebenarnya keadaan ini sudah sering terjadi
di Jakarta. Itulah yang merupakan salah satu tugas dari “pak de” pada saat ini.
Namun demikian, yang menggelitik di hati saya bukanlah perkara banjir tersebut.
Yang menjadi perhatian saya adalah ketika salah satu stasiun televisi
menyiarkan secara langsung dari lokasi banjir tersebut. Pada saat itu dilayar
televisi memang ditayangkan secara langsung kondisi yang terjadi pada saat ini.
Sebagaimana lazimnya sebuah berita, sang wartawan pun mulai mewawancara warga
yang terkena banjir. Yang menarik adalah banjir itu menggenangi dua daerah
dalam satu wilayah. Daerah pertama adalah wilayah orang kebanyakan, yakni mereka
yang hidup dengan sederhana. Sedangkan di daerah kedua adalah mereka yang bisa
dikatakan bertemu dengan kesuksesan di Jakarta.
Pewawancara
bertanya mengenai kondisi pada masyarakat di daerah pertama, dan jawaban mereka
cukup menarik, dengan mudah mereka menjawab bahwa ini adalah hal yang biasa
terjadi, banjir juga masih selutut, dan sama sekali tidak mengganggu aktifitas
mereka, salah seorang malah sempat bersyukur dengan banjir sehingga anak-anak
mereka memiliki tempat bermain. Padahal air tersebut adalah air kotor dari kali
sekitar dan sama sekali bukan tempat yang layak untuk bermain. Ketika
pewawancara beralih kepada daerah kedua, suasana ‘duka’ lebih terasa disini.
Penduduk mengeluh dengan banjir yang tinggi, padahal hanya selutut menurut
masyarakat daerah pertama, merusak peralatan elektronik mereka, walaupun mereka
mengaminkan juga bahwa setiap tahun hal ini terjadi, meminta bantuan dari
pemerintah, dll.
Sejenak saya
terdiam dari aktifitas pekerjaan saya. Pikiran saya begitu tergelitik melihat
dua perbedaan yang sangat kontras tersebut, untuk satu permasalahan yang sama.
Mengapa para korban yang menjalani kehidupan dengan sederhana bisa lebih
melihat masalah ini dengan lebih positif? Sedangkan mereka yang lebih
beruntung, lebih terpelajar, memiliki harta yang lebih banyak, gagal untuk
melihat hal ini secara positif. Kalau menurut pemikiran saya seharusnya, pihak
yang lebih berhak untuk mengeluh adalah pihak pertama, karena mereka selalu
saja tidak berkesempatan menikmati kenyamanan. Tetapi mengapa pihak kedua yang
seakan-akan sangat dizalimi dalam hal ini?
Setelah melihat
berita tersebut saya mulai menulis artikel ini, dan mencoba menyimpulkan hal
itu dalam beberapa point:
Bersyukur
Masyarakat,
katakanlah yang terpinggirkan, umumnya memang memiliki kemampuan untuk lebih
mensyukuri kehidupan ini. Karena apa? Saya berpikir bahwa mungkin mereka
menyadari, bahwa keluhan mereka tidak ada yang mendengar, tidak saudara, tidak
teman, tidak keluarga, tidak pemerintah, tidak juga Tuhan. Jadi mereka memang
tidak memiliki pilihan apapun kecuali bersyukur atau mati dalam keluhan.
Menerima
Salah satu syarat agar bisa bersyukur adalah menerima yang apapun
yang terjadi kepada kita sebagai hal yang positif. Dengan begitu kita tidak
memberi kesempatan kepada pikiran kita untuk berpikir negatif terhadap apa yang
terjadi. Sebab segala sesuatu yang sudah terjadi itu tidak bisa dirubah, kita
hanya bisa belajar agar ketika hal itu terulang lagi, kita keluar sebagai
pemenang.
Cara Pandang Kehidupan
Sebelum kita bisa untuk belajar menerima, kita harus bisa merobah
cara pandang kita terhadap kehidupan. Sikap iri, mau menang sendiri, tidak
perduli dengan sekitar, hanya mau didengar tidak mau mendengar, angkuh,
menganggap remeh orang lain, hal-hal seperti ini akan membawa kita menjadi
seorang “monster” dalam tubuh manusia. Dengan cara hidup seperti ini, jangan
pernah berharap kita akan menjadi orang yang bisa menerima. Sebaliknya, kita
akan menjadi si pengeluh, yang selalu saja menemukan point untuk dikeluhkan
walaupun hal baik sedang terjadi didalam kehidupan kita.
Mengenal Diri Sendiri
Ini
adalah awal dari semua perubahan. Pengenalan diri adalah kunci dari segalanya.
Ketika kita belajar mengenal diri sendiri, maka kita bisa mengetahui apa tujuan
hidup kita, dapat membedakan antara apa yang dibutuhkan dan apa yang
diinginkan, bisa mendahulukan kepentingan orang lain, bertanggungjawab.
Memang tidak
mudah untuk melakukan itu semua. Namun, jika kita ingin merubah kehidupan kita
menjadi lebih baik, maka kita harus mau untuk berubah. Sebab kita tidak akan bisa mengharapkan
daging panggang dengan cara memasaknya dnegan air. Karena itu, berubah adalah
hal yang harus dilakukan agar dapat mencerna kehidupan ini, memaknainya, dan
menjalaninya dengan lebih baik.